Sejarah Grafiti di Kota Jakarta: Di Antara Vandalisme, Mural Estetik, dan Coretan Liar. Grafiti di Jakarta merupakan fenomena civic yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota megapolitan. Ia hadir sebagai bentuk ekspresi, perlawanan, komunikasi alternatif, hingga seni ruang publik. Perjalanan grafiti di Jakarta bukan sekadar soal coretan dinding, melainkan cerita panjang tentang perubahan sosial, dinamika politik, dan evolusi estetika yang terus berlangsung.
Akar Kemunculan Grafiti di Jakarta
Jejak awal grafiti ultramodern di Jakarta dapat ditelusuri sejak akhir 1980-an hingga awal 1990-an, ketika budaya hip-hop, breakdance, dan musik rap mulai bersentuhan dengan kaum muda di ibu kota. Meskipun grafiti tradisional sebenarnya sudah ada sejak masa kolonial—berupa tulisan provokatif di tembok kota dan jembatan—grafiti dalam bentuk lettering khas street art baru dikenal lebih kuat setelah interaksi budaya pop global meningkat.
Pada era 1990-an, grafiti di Jakarta berkembang secara organik. Para remaja memanfaatkan tembok pinggir jalan, kolong jembatan, hingga gerbong kereta sebagai ruang berkarya. Coretan nama geng, pesan protes, serta simbol identitas menjadi ciri utama. Pada periode ini, grafiti masih dipandang sebagai tindakan vandalisme karena muncul tanpa izin dan sering dianggap mengotori ruang publik.
Grafiti Saat Reformasi: Medium Kritik Sosial
Memasuki 1998, ketika gelombang Reformasi mengguncang Indonesia, grafiti menjadi salah satu medium alternatif bagi ekspresi politik. Tembok-tembok Jakarta dipenuhi slogan perlawanan, kritik terhadap rezim, dan suara rakyat yang menuntut perubahan. Meski tidak semua pelaku grafiti berkaitan langsung dengan aktivisme, ruang publik pada masa itu menjadi sarana terbuka untuk berbagai bentuk ekspresi visual.
Periode Reformasi menjadikan grafiti memiliki makna baru—bukan sekadar coretan, melainkan refleksi kegelisahan masyarakat civic. Pada titik inilah grafiti mulai mendapat perhatian dari kalangan akademisi, seniman, dan pemerhati sosial.
Lahirnya Komunitas Grafiti dan Perkembangan Estetika
Awal 2000-an menjadi titik penting bagi perkembangan grafiti di Jakarta. Komunitas-komunitas seperti Gardu House, Tembok Bomber, dan berbagai kolektif visual mulai membentuk ekosistem seni jalanan yang lebih terstruktur. Para seniman muda mengikuti perkembangan grafiti global—mulai dari teknik aerosol, karakter kartun, hingga wildstyle handwriting.
Pada fase ini, grafiti di Jakarta tidak lagi sekadar hadir sebagai coretan pemberontak, tetapi berubah menjadi karya seni yang menunjukkan kemampuan teknis dan kepekaan estetika. Pameran street art mulai bermunculan, beberapa bahkan masuk ke galeri formal, menandai pergeseran grafiti menjadi bentuk seni yang lebih diakui.
Mural: Estetika Baru yang Lebih Diterima Publik
Berbeda dengan grafiti ilegal, mural mulai mendapat legitimasi formal karena biasanya dibuat atas izin pemilik bangunan atau pemerintah. Sekitar tahun 2010-an, program revitalisasi ruang publik di Jakarta—mulai dari kampung warna-warni, kolong jembatan yang dipercantik, hingga dinding pasar tradisional—membuka peluang bagi seniman mural untuk berkarya lebih bebas.
Mural hadir dengan visi yang lebih komunikatif, menggambarkan budaya lokal, tokoh masyarakat, pesan moral, hingga kampanye pemerintah. Estetika mural yang lebih “ramah publik” menjadikannya lebih diterima dibanding grafiti liar, yang masih sering dipandang sebagai tindakan merusak.
Perdebatan: Seni atau Vandalisme?
Hingga kini, grafiti di Jakarta tetap berada dalam posisi ambigu. Di satu sisi, ia dianggap sebagai bagian dari dinamika kota, menghadirkan warna dan suara bagi ruang-ruang yang sebelumnya monoton. Di sisi lain, coretan liar yang muncul tanpa izin tetap digolongkan sebagai vandalisme dan melanggar aturan tata kota.
Beberapa area seperti dinding perkantoran, fasilitas umum, dan ruko kosong sering menjadi sasaran para bomber grafiti. Pemerintah kota telah melakukan berbagai upaya penertiban, tetapi fenomena ini tetap muncul, terutama pada malam hari ketika aktivitas kota menurun.
Grafiti Jakarta Masa Kini: Identitas Urban yang Terus Berkembang
Saat ini, grafiti dan mural di Jakarta berkembang melalui dua jalur besar: jalur legal yang memprioritaskan estetika dan fungsi sosial, serta jalur underground yang mempertahankan semangat kebebasan berekspresi tanpa batas.
Media sosial turut mempercepat perkembangan ini. Karya-karya mural dan grafiti menjadi bagian dari wacana visual digital, memperluas jangkauan seniman lokal hingga dikenal secara global.
Pada akhirnya, grafiti di Jakarta adalah cerminan denyut kehidupan kota—dinamis, penuh konflik, namun selalu kreatif. Ia menjadi bahasa visual yang terus berkembang, menandai perjalanan Jakarta sebagai kota yang hidup dalam tarikan antara keteraturan dan kebebasan.

